B-A-H-A-G-I-A, satu kata yang merupakan tujuan setiap insan bernafas.
“Bahagia itu sederhana”, mereka bilang.
Sesederhana ketika list belanjaan tersedia semua di
BTS (Bapak Tukang Sayur).
Bahagia, definisinya beragam bagi setiap manusia.
“How can I help?” adalah kalimat yang sering keluar dari mulut seorang Max Goodwin. Kepada stafnya, kepada atasannya, kepada koleganya, dan bahkan kepada orang asing. Beliau menawarkan suatu pertolongan kepada siapapun tanpa memandang bulu. Apakah orang tersebut terlihat ‘penting’, rapih, lusuh, kaya, miskin, …
Ada apa ya? Kok sebegitunya?
Dari film dokumenter Netflix “Coronavirus, Explained” episode “How to Cope”, saya mengetahui istilah Helper’s High. Di acara berdurasi 20 menit itu dijelaskan tentang studi para scientists terhadap kelompok orang tua yang berusia 55 tahun ke atas mengenai Mortality Reduction (berkurangnya tingkat kematian).
Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa Kelompok B (kelompok yang ikut partisipasi dalam kegiatan sukarelawan) usianya lebih panjang dan lebih sehat. Presentasenya sedikit di atas Kelompok A (kelompok yang rajin olahraga 4 kali dalam seminggu) dan ‘beda tipis’ dengan Kelompok C yang tidak merokok.
Siapa Max Goodwin?
Sekedar informasi, Max Goodwin adalah seorang dokter ganteng pol sekaligus direktur Rumah Sakit Umum New Amsterdam di Manhattan, New York. Saya kagum dengan dedikasi dan ketulusannya menjalankan perannya. Tidak banyak dokter yang mau peduli dengan kondisi pasiennya secara pribadi.

Ada pasien yang homeless dan jobless bin duitless; dengan semangat beliau mengerahkan kemampuannya agar sang pasien tetap dapat menjalankan operasinya tanpa pusing dengan biaya.
Ada pasien yang penyakitnya tidak bisa diklaim oleh asuransi; beliau rela bercapek-capek datang ke perusahaan asuransi untuk me-lobby agar pengobatan pasiennya bisa di-cover dengan sedikit bend the system here and there.
Ada pasien yang ingin keluarganya datang menjenguk padahal sudah lama anggota keluarganya tersebut meninggalkan yang bersangkutan; dengan meminta bantuan network yang dikenalnya, beliau mau mengusahakan agar family reuniting terjadi.
Ada pasien remaja yang mempunyai keinginan untuk bunuh diri karena merasa penampilannya tidak menarik; dengan sabar beliau mau mendengarkan keluh kesahnya dan mengajaknya bertemu dengan seorang psikiater yang handal.
Serahkan semua ke Dokter Goodwin! Beliau mau repot-repot untuk membantu.
Sangat terlihat bahwa UANG bukanlah tujuan utama Dokter Goodwin, melainkan kepuasan memberi terhadap orang lain. Perasaan menyenangkan melihat orang lain tersenyum karena bantuannya. Dan perasaan bahwa being self-less membuat hidupnya lebih bermakna, dan bahagia.
Ya, inilah yang dinamakan Helper’s High. ‘High’ atau ‘fly’ yang BUKAN diperoleh dari nge-drugs atau nyimeng.
Hhmm… ternyata ada ya high yang ‘aneh’ begini. Saya juga takjub ehehe. Dulu ketika mendengar kata ‘high‘, saya langsung menghubungkannya dengan hal yang kurang patut, seperti: kecanduan seks; kecanduan alkohol; dan kecanduan judi.
Ohya, walaupun Dokter Max Goodwin hanyalah tokoh fiktif di serial “New Amsterdam”, saya yakin di dunia nyata; di Indonesia; di tempat yang berada dekat dengan kita, PASTI ada, banyak malah, yang seperti beliau.
Ahh sudah ahh, cukup dengan dokter-dokter-an ini.
Pernahkah Kita Merasakannya?
Nah, high ini tentu bisa kita raih!
Pantas saja saya merasa ayem ketika akhirnya saya mau dan mampu untuk mengeluarkan uang atau bantuan untuk yang membutuhkan. Melihat wajah sumringah orang-orang yang kita tolong bisa benar-benar membuat hari makin menyenangkan, membuat hidup makin losta masta.
Kita juga melihat banyak orang yang berbondong-bondong berbagi sarapan kepada kaum dhuafa; bersedekah di hari Jumat; memberikan donasi kepada para korban bencana alam; dan masih panjang list-nya.
Dan layaknya suatu FLY atau HIGH, hal-hal tersebut bisa sangat intoxicating, membuat kita ingin mengulangi lagi, lagi, dan lagi. Ketagihan, kecanduan, ohh woww.
Menurut saya pribadi, semua hal yang berlebihan, meskipun hal tersebut adalah hal yang baik dan mulia, bukanlah hal yang bagus. Secukupnya dan sesuai dengan kemampuan kita saja. Jangan sampai niat kita menolong orang lain malah merugikan diri sendiri; membuat kita jadi tidak punya resource lagi; tidak mengindahkan kepentingan kita sendiri dan orang-orang terdekat.
Inovasi Fenomena Helper’s High oleh Para Ilmuwan
Istilah Helper’s High, yang awalnya dianggap sebagai ilusi belaka, mulai terngiang di tahun 1980an. Namun akhirnya menjadi ‘resmi’ keberadaannya setelah Bapak Allan Luks dan para neurologists melakukan riset yang hasil studinya terbukti scientifically.

SEHAT, yang sebagian orang menganggap itu MAHAL harganya, dapat dicapai ‘hanya’ dengan menyisihkan uang; waktu; tenaga; dan atau source yang kita punya, untuk kita berikan kepada yang membutuhkan.
Sensasi feeling good (yang dimunculkan oleh hormon endorfin) yang kita peroleh setelah melakukan kebaikan dapat mengurangi (bahkan menghilangkan) stres, yang otomatis membuat badan juga lebih sehat, karena less/no stress berkontribusi optimal dalam menguatkan sistem imunitas.
Ya! Betul sekali! Stres itu culprit utama segala penyakit lho!
Neuroscientist National Institutes of Health, Jorga Moll, menerangkan bahwa ketika kita volunteering atau donating, sistem mesolimbik di otak kita akan teraktivasi dan menghasilkan neurotransmitter oksitosin dan vasopresin. Sama halnya dengan setelah kita berlari (Runner’s High) atau ketika ada rangsangan makanan dan seks. Ummm…
Yang lebih mengejutkan lagi, hasil penelitian Biokimia mengungkapkan bahwa hanya dengan NIAT saja (belum terlaksana lho padahal), otak kita sudah bisa menghasilkan hormon senang. Pun saat mengingat kebaikan yang kita lakukan beberapa waktu lalu. Jadi, hanya dengan ‘modal’ NIAT dan MENGINGAT, kita tetap bisa memperoleh sensasi euforianya. Wuihhh.
Kalau berlari kan kita dapat high-nya pas sudah selesai doang dan hanya di waktu itu saja. Kita tidak akan bisa high kalo larinya masih dalam fase NIAT semata atau sekedar MENGINGAT pengalaman jogging muterin The Breeze yang dilakukan minggu lalu.
Segitu WAHnya ya tindakan ini. 🙂
Faux Generosity
Suatu hal akan SELALU diikuti oleh beragam pandangan; pro dan kontra; pujian dan hinaan. Santuyyy, dinikmati saja, ehehe. Perbedaan adalah suatu keindahan.
Termasuk dengan perihal ‘kehebohan’ ini. Para Ahli Psikologi dan Peneliti Sosial ikut ‘tergelitik’ untuk menyampaikan opininya. Menurut mereka, orang-orang akan beramai-ramai berbuat baik demi mendapatkan reward high, BUKAN karena dasarnya ingin menolong. Berbagi karena berharap memperoleh sesuatu in return.
Sebuah faux generosity, mereka menyebutnya.
PAMRIH
Mengharap sesuatu in return dan pamrih, ummm… jujurly, saya sih jelas YA! Ehehe.
Saya pribadi melihatnya dari segi agama yang saya anut, yang sangat dianjurkan (at some point diwajibkan) untuk berbagi.
Dengan senang hati saya mau melakukannya sebagai bentuk kepatuhan padaNya. Saya ingin sekali perbuatan baik saya dilihat olehNya. Saya sangat berharap mendapat rahmat dariNya dan poin (pahala) besar dariNya.
Jika ada orang lain yang berkomentar, “Itu namanya gak ikhlas tuh.. bla bla bla..masih ngarep pahala,” santuyyy sajalah ehehe, jangan diambil personal, karena komentar mah gratis dan gampang.
Selama tidak merugikan orang lain, seperti menjadikannya sebagai konten yang tidak etis nor sesuai prosedur yang baik; tetap lakukan saja yang kita inginkan.
Moreover, slentingan, nyinyiran, dan sanjungan, merupakan salah satu dinamika kehidupan bermasyarakat. Markibong, ehh salah, Markinik, Mari Kita Nikmati, ehehe.
- Ada sebagian orang yang mengharap akan memperoleh berlipat-lipat dari jumlah uang yang disedekahkan.
- Perspektif pro: “Masya Allah…”
- Perspektif kontra: “Walaah dapetnya cuma di dunia aja tuh, nanti di akhirat gak akan dapet.”
***
- Ada seorang selebgram kaya raya yang membagikan uang sebesar 1 juta rupiah untuk masing-masing followers-nya yang dipilih secara acak.
- Perspektif pro: “Masya Allah”
- Perspektif kontra: “Dasar riya’, norak!”
***
- Ada seorang pengusaha besar terkenal sejagad raya, yang uangnya turah-turah, yang juga seorang philanthropist, (Bill Gates.. –detected-) rajin berkunjung ke negara-negara di Afrika untuk membuat saluran air bersih; membangun toilet yang higienis; memberikan obat-obatan; serta menyediakan vaksinasi bagi para warga yang hidupnya masih di bawah banget.
- Para pengkritik ‘berdatangan’ dengan ‘bersenjatakan’ quote Frank A. Clark, seorang politikus handal dan pengacara berbudi Amerika Serikat yang hidup di Progressive Era (awal tahun 1900an), yang berbunyi “Kebaikan yang sesungguhnya adalah saat orang yang kamu tolong tidak tahu bahwa kamu menolongnya”.
***
Begitulah sekelumit dinamika pro-kontra dari manusia, untuk manusia, ke manusia. Semoga kita mampu menghadapinya dengan senyuman. Pun semoga kita tidak termasuk salah satu orang yang berpandangan negatif akan suatu hal, karena pikiran negatif bisa mengakibatkan stres, yang bisa lead ke gawatnya sistem imunitas tubuh. Mikroorganosme ‘nakal’ jadi lebih mudah menyerang, yang membuat tubuh terkena penyakit.
Please, keep in mind, bahwa ini tidak bisa ‘dipukul rata’. Bukan berarti semua orang yang terkena virus –atau menderita suatu penyakit– adalah orang yang suka negative thinking. Ada yang karena memiliki kormobid, ada yang sudah melemah sistem imunitasnya karena usia, dan berbagai penyebab lainnya.
Tubuh tiap manusia memiliki keunikan masing-masing yang kompleks. Dari buku “An Elegant Defense: The Extraordinary New Science of the Immune System: A Tale in Four Lives” yang ditulis oleh Matt Richtel, saya mengetahui bahwa ada orang yang sejak lahir sudah mengidap penyakit ‘Bubble Boy‘, yang sangat fragile walaupun hanya terekspos oleh sedikit mikroorganisme yang harmless sekalipun.
Syukur dan Bahagya (Dengan ‘Y’)
Apapun motif seseorang dalam melakukan kebaikan; pamrih atau tidak; ikhlas atau tidak, absolutely bukan ‘wilayah’ kita. MURNI ranah urusan masing-masing manusia dan Sang Pencipta.
Well, anomali pasti ada. Bagi mereka yang tindakannya jelas merugikan orang lain demi kebahagiaan pribadinya, siap-siap menerima konsekuensi dari masyarakat, sebelum ‘hitung-hitungan‘ dengan Yang Maha Kuasa.
Yang PASTI dan PENTING, melihat keadaan buruk menjadi baik; melihat orang bahagia setelah menerima pemberian orang lain; melihat dunia menjadi tempat yang lebih nyaman; melihat seseorang berkontribusi untuk perubahan yang lebih indah, sudah membuat kita ikut senang, terharu, terinspirasi, dan bersyukur.
Referensi:
- sciencedirect.com. The Helper’s High. November 2018 ( Tanggal diakses: 31 Maret 2022). https(dot)www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1550830718304178
- Richtel, Matt. (2019). An Elegant Defense: The Extraordinary New Science of the Immune System: A Tale in Four Lives. New York: William Morrow.
- Rodwell, Victor W. et al. (2015). Biokimia Harper. Harper’s Illustrated Biochemistry. Edisi 30. Manurung, Lilian Roma. (2016). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Artikel ini ditulis untuk ikut serta event Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog Maret 2022.
Kalau semua orang memiliki mindset sebagai helper, kayaknya dunia bakal aman tentrem ya teh 🤭. Saya kenal seseorang -yang ga seciamik dokter Goodwin-.. tapi memang senang menolong. Akibatnya (terkadang) kebaikannya sering dimanfaatkan. But so far, orangnya enjoy aja. Mungkin seperti yang teh uril tulis, bagaimana orang itu bersyukur setelah melakukan satu kebaikan.. 🥰
LikeLike
Saya kenal seseorang yg helper high gini Mba Uril
sepertinya memang mereka menemukan kebahagiaannya dengan menolong orang
saya juga suka merasakan sih klo abis bantu orang itu ada rasa yang beda, berbunga-bunga gitu, cuma logika masih terlalu kuat, jadi blom masuk kategori ‘high’ wkwkwk
LikeLike
teh uril, bener bgt mau apapun yang kita lakukan pasti akan ada yg pro kontra, jadi yaah selow aja yang penting yg kita lakukan ngga merugikan orang lain dan ngga menyalahi agama ya kan hehe.. masalah kebaikan itu riya atau ngga, tergantung masing2 org kan, imho kalau mau dapet ‘high’ nya mah kupikir cm bs buat org2 yg ikhlas aja hehe.. thx for the article tehh uril 🤗
LikeLike
Teringat dulu pernah dikasih wejangan seorang ustaz, ya biarkan saja kalau orang memberikan bantuan trus pasang foto atau video di media sosial. Mungkin memang harus dengan begitulah dia mau membantu. Yang penting manfaatnya sampai. Dan siapa tau, mungkin malah bisa menarik orang lain buat ikut-ikut membantu…
Bener, teh uril: ikhlas dan pahala itu bukan urusan kita. Dan jalan bahagia orang tu beda2. Yuk, bahagia yuk… 🤗
LikeLike
aku baru tahu ada istilah Helper’s high, tapi sudah tahu kalau memang ketika menolong orang lain itu bisa mendatangkan rasa bahagia karena kita merasa berguna buat orang lain.Tapi emang paling senang juga liat anak-anak yang masih kecil tapi punya naluri bilang ‘can I help you’ kalau liat ada kesulitan. kayaknya anak kayak gitu bagus banget bimbingan ortunya 🙂
LikeLike