Di salah satu rumah di kompleks Greencove nan asri, teduh, nyaman, dan sejuk; tinggalah keluarga Bapak Hendra yang terdiri atas: ayah, ibu, dan putra semata wayangnya yang duduk di kelas 9.
***
16 Januari 2023
Jam 07.00 Pagi
Pagi itu Pak Hendra makan bubur ayam yang diaduk, Bu Nanna nasi pecel, sedangkan Osada nasi omelet.
Pak Hendra dan Bu Nanna terbiasa memesan makanannya lewat GoFood, karena jam pagi sangatlah mepet. Bu Nanna yang juga bekerja sebagai guru science di sekolah Cikal membuatnya tidak sempat memasak khusus untuk suaminya.
Anehnya, sang anak, Osada, malah sukanya dimasakin Bundanya, sesederhana apapun, pokoknya harus masakan Bunda. Telor dadar pun jadi.
***
Sambil menghabiskan sarapan bersama di ruang makan, terjadilah percakapan yang lumrah ditemui dalam sebuah keluarga.
Bu Nanna: “Ayah, nanti pulang sekolah, aku mau ngajak Osada cek gigi. Kemungkinan abis Maghrib nyampe rumah.”
Pak Hendra: “Di mana, Bund? Carolus GadSer atau Eka?”
Bu Nanna: “Eka Hospital saja, Yah. Terakhir ke sana, aku cucok euy, alatnya baru dan canggih. Pas lagi bersihin karang gigi, hampiiir gak ada suara. Tapi emang lebih mahal dari Carolus, Yah.”
Pak Hendra: “Ya udah, nanti kabari aja Bun kalau udah di Eka. Siap-siap bosyen ya, bayar-bayarnya suka lama kan.”
Bu Nanna: “Iya sih, tapi sistem penomerannya yang sama dari awal daftar sampai akhir, tuh enakeun, Yah. Gapapa lah. Nanti kita bisa ngopi-ngopi di Starbucks.”
Osada: “Bund, aku kan gak ngopi! Bunda sendiri kan yang bilang kalau aku belom boleh kopi!”
Bu Nanna: “Ya iyalah, Nak. Di situ kan ada jenis minuman lain. Tenchu saja kamu belom boleh ngopi. Pesen susu atau jus apel ajah.”
Setelah menyelesaikan sarapannya, Pak Hendra berangkat ke kantor sendiri dengan mobil hybrid Toyota CHR-nya yang perkasa. Bu Nanna mengendarai HRV Turbo yang nggaya abezzz mengantar Osada ke SMP Al Azhar sebelum dirinya ke sekolah Cikal.
***
Jam 16.10 Sore
Eka Hospital di jam 4 sore terlihat padat. Banyak yang ngantri. Sepertinya jam berapapun, rumah sakit ini selalu rame deh. Manusia sakit silih berganti.
Sepuluh menit berlalu sambil menoleh ke kanan dan ke kiri melihat orang berlalu lalang, nomer antriannya pun dipanggil.
Bu Nanna: “Mba saya sudah appointment untuk bertemu dengan dokter gigi Amalia.”
Admin Eka Hospital: “Atas nama siapa, Bu?”
Bu Nanna: “Osada Anugrah.”
Admin Eka Hospital: “Baik, Bu. Silahkan langsung menuju ke ruangan dokter Amalia.”
Bu Nanna: “Antrian ke berapa, Mba?”
Admin Eka Hospital: “Ini lagi nanganin 1 pasien, Bu.”
Bu Nanna: “Alhamdulillah gak lama. Makasih Mba.”
Admin Eka Hospital: “Sama sama Bu. Dengan senang hati.”
***
Seperti dugaan, tanpa menunggu lama, nama Osada dipanggil.
Bu Nanna: “Tuh Osada, kamu dipanggil. Bunda nunggu di luar ya. Berani kan ehehehe. Yang penting bismillah ya Nak.”
Osada: “Iya Bund. Bunda jangan ikut ke dalam! Malu.”
Bu Nanna: “Ahahaha, dasar sok gede lu! Dah sana, bismillah jangan lupa!”
Setengah jam berlalu, dan Osada keluar dengan wajah ‘normal’. Sebagai ibunya, tentu saja Nanna paham betul bagaimana ekspresi sang anak dalam segala hal.
Kali ini, tidak ada yang aneh dengan ekspresi anaknya, berarti sama dengan yang dirasakannya ketika sesi membersihkan karang gigi oleh dokter Amalia berlangsung.
Bu Nanna: “Yeayy, sini Bunda cium rambut lucunya dulu. Anak Bunda pinter lhoh, sudah berani masuk ruang tanpa ditemeni ibunya.”
Osada: “Ahh malu malu. Banyak yang lihatin tuh Bund.”
Bu Nanna: “Ahahaha biarin. Yok kita bayar bayar dulu. Bakal lama nih Nak, lebih lama ngantri bayarnya daripada daftar. Kita ke Starbucks yuk!”
Osada: “Ya Bund, aku hauuus.”
Ibu dan anak tersebut berjalan layaknya prajurit yang sedang berbaris, karena Osada sudah tidak mau lagi digandeng oleh ibunya, jadi memilih untuk jalan di belakangnya.
***
Jam 17.23 Sore
Sesampainya di depan franchise kopi favoritnya, Nanna terkaget dengan perubahan yang ada.
Bu Nanna: “Yahh, Sbux-nya gak ada?? Kok berubah jadi Oh-La-la?? Kepriben kiye?!“
Osada: “Dah Bund, ini saja, aku mau juga kok. Hausss.”
Bu Nanna: “Yahh padahal Bunda sudah kepengen banget minum almond americano-nya Sbux, Nak. Yahhh cuwapeek dweeh. Kenapa sih pake diganti segala kayak gini. Huhh.”
Osada: “Bunda, ayok masuk. Hauuuus, Bundaaa!”
Bu Nana: “Haishhh ya udah!”
Tampak beberapa orang sudah nyaman menyantap pesanan masing-masing di mejanya. Syukurlah tidak penuh, jadi mereka bisa tenang menikmati yang akan mereka konsumsi.
***
Kedatangan mereka disambut oleh salah satu barista.
Mas Barista: “Halo Kak. Silahkan mau pesan apa Kak?”
Bu Nanna: “Umm ada menu apa saja ya Mas, yang kopi?”
Mas Barista: “Ini Kak menunya, silahkan dilihat dulu.”
Menelusuri halaman minuman, Bunda dan Osada akhirnya menentukan yang klik.
Bu Nanna: “Mas, yang untuk anak saya ini, pesan Oasis Tea ya. Kalau saya yang…”
Belum selesai meneruskan kalimatnya, Mas Barista menyahut.
Mas Barista: “Woo ini anaknya, Kak? Saya kira adiknya.”
Nanna menanggapinya dengan tersenyum tipis, “Ini anak saya, Mas, ehehe.”
Mas Barista: “Gak kelihatan Kak. Hehe.”
Bu Nanna: “Ehehe. Eh Mas, panggilnya Ibu saja atuh lah, jangan Kakak. Nih anak saya sudah segede ini kan.”
Mas Barista: “Oke Kak, eh Bu. Jadi mau pesen apa Kak, eh Bu?”
Bu Nanna: “Saya mau yang cafe-au-lait ya Mas. Umm ada susu almond?”
Mas Barista: “Gak ada Kak, eh Bu, tuh kan salah mulu saya, hahaha.”
Bu Nanna: “Ya sudah susu biasa saja. Umm lagi pengen yang manis, bikinin less sugar ya Mas.”
Mas Barista: “Pengen manis kok less sugar, Bu?”
Bu Nanna: “Hehehe iya Mas, biasanya saya suka tanpa gula. Jadi pas lagi pengen manis tuh, cukup gulanya dikit aja. Yang takaran less sugar-nya Mas, dikurangin dikit lagi ya Mas, jangan full yang less sugar.”
Mas Barista: “Ooo jadi ini ya rahasianya, gak suka gula sih, jadi sudah Ibu-ibu, masih kelihatan kayak Kakak-kakak.”
Bu Nanna: “Ahh sudah ahh Mas, jadi bikin saya awkward ajah.”
Mas Barista: “Hahahaha, beneran deh. Btw dengan Kak siapa? Eh Bu siapa?”
Bu Nanna: “Kan diminum di sini Mas. Gak saya take away kok. Pake cangkir kan??”
Mas Barista: “Sudah mandatory, Bu.”
Bu Nanna: “Oh, oke, dengan NANNALLINA. N yang ke-2 ada 2 buah N, dan L-nya juga dobel ya. Yang anak saya OSADA, Ohio-Superman-Asyem-Dodol-Asyem.”
Mas Barista: “Baiklah, silahkan duduk Bu. Ditunggu ya pesanannya.”
Dalam sekejap mereka sudah duduk dengan santai dan mengeluarkan ponselnya masing-masing untuk scroll-scroll tanpa arah.
Osada: “Bund, I think he’s hitting on you.”
Ucap Osada seraya fokus melihat layar ponselnya.
Bu Nanna: “Hushh, enggak, Nak. Bisa jadi Mas-nya ngomong gitu juga ke semua customers, biar pada balik lagi. Kan orang seneng kalo dipuji.”
Osada: “Dipuji?”
Bu Nanna: “Ya Nak, untuk orang-orang seusia Bunda, dibilang muda tuh kayak pujian ahahahaha. You’ll get there when you’re my age. Semua manusia maunya muda terus. Makanya, use your youth life to the fullest, Nak! Gak bisa balik!”
Osada: “Temen-temenku bilang, Bunda gak kelihatan kayak ibuku, pada bilang kayak kakakku. Sama seperti yang Mas-nya bilang, Bund.”
Bu Nanna: “Ahahahaha, pasti kamu ada maunya ya. Nanti Bunda cium ya, cium, cium,..”
Sambil nyosorin bibirnya ke rambut sang anak.
Osada: “Bunda, gak mauuu!”
Teriakan dengan suara nge-bass Osada yang remaja tanggung sempat membuat pengunjung Oh-La-La menoleh.
Bu Nanna: “Lagipula Mas Barista itu berondong. Gak level! Bukan selera Bunda!”
Nanna kelepasan.
Osada: “Maksud?”
Bu Nanna: “Engg ummm.. ya maksud Bunda, selera Bunda tuh ya yang seperti Ayahmu itu, Nak! Yang chubby unyu unyu, pinter, dan banyak dhuwit. Gichuuuu.”
Pesanan pun datang dan mereka berdua segera menyeruput minumannya masing-masing.
Bu Nanna: “Alhamdulillah, nikmat. Sayangnya gak pake susu almond nih Nak punya Bunda. Kalau pake almond, lebih passss buat lidah Bunda. Rasa teh kamu gimana?”
Osada: “Enak, Bund. Segerrr.”
Sedang enak-enaknya, tiba-tiba terdengar suara memanggil.
“Nanna, Nanna! Nanna!”
Suaranya makin mendekat, membuat Nanna dan Osada menengok ke arah datangnya suara.
Nanna hampir pengsan. Wajah itu, suara itu, rambut itu. Orang itu adalah…..
Dalam hitungan mikrodetik, memorinya membawanya kembali ke 16 tahun yang lalu.
***
***
***
Januari 2007
1.
Tangisan meraung-raung seorang perempuan terdengar di dalam suatu kamar kos di Tubagus Ismail, Bandung.
Setelah mengetahui fakta yang sangat tidak diharapkan. Yang selama ini dia ngira tidak akan pernah terjadi padanya, ternyata terjadi juga.
Berkali-kali dia memejamkan matanya lalu membuka kembali matanya, berharap itu hanyalah mimpi buruk, namun ternyata bukan.
Berkali-kali dia mencubit lengannya, berharap hanyalah mimpi di siang bolong, tapi ternyata kenyataan.
Beberapa test pack berbagai merek berceceran di kamar mandi, yang kesemuanya menunjukkan hasil yang sama, garis dua. Akan ada banyak orang yang kecewa dengan kondisi dirinya, dia ragu harus berbuat apa.
Puas menangis berjam-jam, dia memutuskan untuk memilih jalan pintas agar semua happy dan aman tentram tidak ada keributan.
Diambilnya ponsel Motorola-nya, dan menekan nama seseorang,
“Mas, aku hamil! Hwaa hwaaaaa,” yang tadinya sudah selesai menangis, tangisan Nanna kembali merebak.
Telpon Waabil: “…………..”
Suara di sebrang terdiam lama, lalu…
Telpon Waabil: “Hahhhhh!”
Telpon Nanna: “Iya Mas, gimana nih Mas! Hwaaaa hwaaaa. Carikan aku obat atau minuman yang bisa buat menggugurkan ini Mas! Cepettttt! Hwaaa hwaaaa hwaaaa.”
Nanna berbicara dengan sesenggukan, tidak mampu menahan tangisnya. Sehari itu, mungkin air matanya yang keluar sudah ada se-ember.
Telpon Waabil: “Ehh ehh tenang. Tenang dulu, Sayang. Kamu tarik napas. Tenang dulu. Jangan sambil nangis, biar jelas suaranya.”
Telpon Nanna: “Hiks hiks hiks. Iya Mas, gimana nih? Masa depanku tinggal angan-angan. Aku gak mau Mamah Papahku tau, aku juga gak mau Mas Hendra tau. Aku gak mau semua orang tauuuuuu! Cariin obatnyaaaaaa!“
Telpon Waabil: “Jangan digugurkan! Aku mau. Aku akan tanggung jawab. Itu anakku. Aku akan menikahimu. Pliss jangan cari obat atau minuman aborsi ya. Aku akan tanggung jawab!”
In some way kalimat tersebut membuat Nanna sedikit lebih tenang.
***
2.
Masalah selanjutnya adalah berhadapan dengan kedua orangtuanya dan calon suamiya, Hendra. Pernikahan Nanna dan Hendra akan digelar 3 bulan lagi. Persiapan pun sudah mencapai 70 persen.
Dua hari sesudah mendapati dirinya hamil, Nanna memberanikan diri untuk mengaku di hadapan Hendra.
Sudah pasti reaksi Hendra sangatlah marah dan kecewa, karena tidak menyangka calon istrinya yang terlihat alim dan polos ini bisa berbuat seperti itu.
Dan yang paling menyakitkan adalah bahwa selama ini calon istrinya mengkhianatinya, tega benerrrrrr.
“Kok bisa?? Kok bisa gak ketahuan???” batin Hendra.
Hendra: “Aku belum pernah icip kamu, orang lain malah bikin bunting. Siyalaaan!”
Hendra menonjok jok kursi mobilnya dengan sekuat tenaga.
Nanna: “Maaf Mas, saya salah, dengan ini saya tidak layak menjadi istri Mas. Kita berhenti di sini saja, Mas. Maafkan sudah mencederai kepercayaan yang kamu berikan ke aku selama bertahun-tahun.”
Hendra terdiam tanpa tahu harus berkata apa. Nanna pun keluar dari mobil Hendra dan memilih untuk naik angkot menuju ke kosannya.
***
3.
Hormon kehamilan memicunya berasa laper mulu, Nanna terus mengunyah makanan hingga jam 11 malam. Dan di kala itulah ponselnya berdering. Dilihatnya sederet nama di layar.
“Mas Hendra…,” gumamnya.
Telpon Nanna: “Halo, Mas Hendra.”
Telpon Hendra: “Nanna, Nanna, aku sudah berpikir lama, dan aku….., aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Nanna. Aku…., aku…., aku akan tetap menikahimu. Anakmu adalah anakku! Jangan tinggalin aku, Nanna. Aku pengen tetep terus bareng kamu.”
Nanna pun menangis lagi untuk kesekian kalinya. Dia merasa sangat bersalah dan menyadari bahwa dia tidak layak menjadi istri seorang pria yang sebaik Hendra.
Telpon Nanna: “Mas Hendra… hiks hiks huwaaaaaaa.”
Lagi-lagi hanya suara tangisan yang keluar dari mulutnya.
***
4.
Tanpa sepengetahuan Nanna, Waabil mengajak Hendra bertemu untuk mendiskusikan perihal ini. Disanalah mereka, dua lelaki dewasa yang sedang galau dengan masa depannya.
Waabil: “Saya mohon maaf yang sangat, sudah melakukan suatu keburukan yang sangat sangat buruk ini.”
Hendra: Bangsat lo ya! Bangsaaat! Kurang ajar!”
Hampir saja Hendra meninjukan genggaman tangannya di muka Waabil. Tapi niatnya diurungkan.
Waabil: “Silahkan pukul saya. Saya pantas mendapatkannya.”
Dengan tetap merendah, dan menunduk, Waabil menawarkan ini pada Hendra, pasrah.
Hendra: “Gak perlu! Ada apa mengajak bertemu?”
Waabil: “Biarkan saya menikahi Nanna. Saya yang melakukan ini padanya. Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya. Saya akan menikahinya. Itu anak saya.”
Hendra: “Siapa elu??!! Aku yang akan jadi suaminya. Undangan sudah jadi!”
Waabil: “Sebaiknya dipikirkan dulu. Apakah Anda benar-benar menganggap itu keputusan yang tepat?”
Hendra: “Aku gak peduli kesalahan yang sudah diperbuat Nanna. Aku sudah suka dia. Aku cinta dia, apa adanya. Dan jangan sekali-kali sebut itu anakmu ya, itu anakku. Anakkuuuuu!!!“
Waabil: “Maaf, apa sebaiknya ditanyakan langsung ke Nanna. Kita dengarkan bagaimana pendapatnya? Demi Nanna dan calon bayinya. Jangan sampai Nanna stres akibat perebutan ini.”
Hendra menghayati kata demi kata dan lama merespon.
Hendra: “Baiklah. Kita biarkan dia yang memutuskan.”
***
5.
Seminggu kemudian, Nanna mengajak Waabil yang tinggal di Jakarta untuk kembali datang ke Bandung dan bertemu di cafe yang berada di jajaran depan mal PVJ. Tempat yang biasa mereka kunjungi berdua.
Waabil: “Sayang, gimana keadaan kamu?”
Waabil ingin memeluk dan mengelus perut Nanna, tapi Nanna menghindar. Sesaat, Waabil tahu apa jawaban yang akan didengarnya.
Nanna: “Aku memilih untuk bersama Mas Hendra, Mas. Orangtuaku sudah tahu kondisiku dan konflik yang terjadi antara kamu dan Mas Hendra.”
Waabil: “…………”
Nanna: “Mereka sudah kenal Mas Hendra selama 5 tahun lebih, practically sudah dianggap keluarga. Mereka gak mau menukar Mas Hendra dengan yang lain, meskipun itu berarti ayah biologis anak yang ada di perutku.”
Waabil: “Kamu ambil keputusan demi… Hendra dan orangtuamu?? Aku pengen tau jawaban yang datang dari kamu sendiri. Kamu pengennya sama aku atau dia?? Jujur!”
Nanna: “Orangtuaku adalah kehidupanku, Mas.”
Waabil: “………….”
Nanna: : “Aku gak mau bersebrangan dengan mereka. Tapi saya terima kasih banget dengan niat baikmu. Mulai saat ini, jangan saling kontak lagi Mas. Sekaligus menghargai Mas Hendra. Dia akan total menjadi ayah anak ini. Jangan hadir lagi dalam hidupku. Hati-hati di jalan, Mas.”
Waabil: “Kamu belum menjawab pertanyaanku…”
Nanna: “………….”
***
***
***
Kembali Lagi ke Masa Sekarang: 16 Januari 2023
Pukul 18.03
“Itulah dia. Dia Mas Waabil. The one that got away….,” Nanna menyusun kalimat itu dalam hati.
Nanna: “Ohh halo. Bu!”
Waabil: “Iya?”
Nanna: “Bu Nanna. Saya Bu Nanna. Panggilnya Bu Nanna, pake BU, bukan hanya Nanna.”
Dengan lugas dia menjawab sembari memasang ekspresi datar.
Waabil: “Oh iya maaf. Bu Nanna. Apa kabar? Sedang apa di sini? Ini.. Ini…”
Waabil memberikan isyarat dengan melirik ke arah Osada.
Nanna: “Ini anak saya! Anak saya dan suami saya, Pak!”
Waabil memahami ekspresi Nanna, lalu memandangi Osada dari atas sampai bawah. Diikuti dengan inisiatif Nanna, sekedar formalitas, mengenalkan Osada pada seorang laki-laki berbaju coklat tua dan celana jeans itu.
Nanna: “Nak, ini teman lama Mama.”
Osada menjabat tangan Waabil, “Saya Osada, Om!”
Waabil: “Kelas berapa sekarang? Tinggi banget, lebih tinggi dari saya!”
Osada: “Kelas 9 Om.”
Waabil: “Oh ya, sudah kelas 3 SMP aja! Sedang apa di sini, Osada? Lagi sakit? Sakit apa?”
Osada: “Bukan sakit, Om, cuma cek gigi. Bersihin karang gigi.”
Waabil: “Wah bagus itu. Iya Osada, kamu harus rajin merawat gigi ya. Gak enak sakit gigi tuh! Kamu anak yang pintar ya.”
Waabil mengelus kepala Osada, dan Nanna langsung menarik Osada menjauh dari Waabil.
Waabil: “Tinggal di.. BSD, Bu Nanna??”
Nanna: “Ya. Bapak sedang apa di sini? Rumah Bapak di Petukangan Jaksel kan. Kok jauh amat ke RS-nya?”
Waabil: “Saya juga mau cek gigi. Ke dokter Alex. Eh masih ingat alamat rumah saya, Nann… eh Bu Nanna.”
Nanna: “……….”
“Jangan ge-er yawww, salahkan nama daerahmu itu, gimana gak mudah diingat. Petukangan, huhh, nama yang aneh,” pikir Nanna.
Waabil: “Petukangan itu rumah orangtua saya, sekarang saya dan keluarga saya tinggal di BSD. Di Savia, di Nusa Loka.”
Nanna: “Ohh.”
Waabil: “Kalau Bu Nanna, di mana?”
Tidak ingin berlama-lama, Nanna buru-buru menutup percakapan.
Nanna: “Maaf Pak, ini sudah jam segini, kami harus pulang. Ayahnya Osada juga sebentar lagi sampai rumah. Kasihan kalau pas sampe rumah gak ada yang menyambut.”
Waabil: “Baik, baik. Silahkan.”
Waabil berdiri sambil tak henti menatap mereka hingga hilang dari pandangan. Osada sempat menoleh ke belakang untuk sejenak dan tersenyum pada Waabil.
Osada: “Bund, si Om itu masih ngelihatin kita tuh Bund.”
Nanna: “Gak usah nengok-nengok ke belakang!”
***
***
***
Sementara itu sambil menyetir menuju pulang ke rumah, Nana membatin,
“Damn asyem kunyet! Kenapa cowok-cowok yang dulu pernah singgah di hati pada ngumpul di BSD sih?!! Kayak gak ada kota lain ajah! Ruang gerakku makin sempit! Mau ke sana takut ketemu itu. Mau ke situ takut ketemu inu.”
***
***
***
keren mam >
LikeLike
Hehhh sapa sih nih?!! Manggil manggil “mam” segala. Ehehe. Maaci Papito. 😍
LikeLike