“Ahmad!!! Ahmad Daniiii!”
Suara Stefania mengagetkan Ahmad Dani dan seorang perempuan yang sedang makan nasi urap dan bothok ontong pisang ikan asin di Warung Bu Kris.
Melihat kekasihnya nge-gap dirinya dengan wanita lain membuat Ahmad Dani ternganga. Hingga terlihat banyak cabe merah yang nyelip di giginya.
Ahmad Dani: “Saa, saa… sayang. Ada apa di sini?”
Stefania: “Ya makan lah! I-i-i- ini siapa? Mesra banget kamu sama nih cewek!”
Stefania mengarahkan matanya ke wanita yang duduk semeja dengan Ahmad.
Mulan: “Namaku Mulan. Kamu pasti.. Stefania?”
Mulan bertanya sambil pindah dari kursinya dan menjauh dari Stefania, takut wajahnya dilumuri sambel trasi yang ada di meja. Ngeriiii.
Stefania: “Ka– ka- kamu tahu nama gw??! Kalian.. Ahmad! Ahmad Dani, apa nih maksudnya?”
Terkejut dan bertanya-tanya kenapa pacarnya ngomongin dirinya ke orang lain yang asing, ke perempuan itu.
Bahasa tubuh Ahmad Dani sangat gelisah, terutama karena banyak pengunjung yang memperhatikan mereka.
Ahmad Dani: “Engg ehh kita keluar saja. Kita ngobrol di luar, gak enak banyak orang lihatin, Sayang.”
Ahmad, Mulan, dan Stefania bergegas keluar dan mencari area parkir yang cukup sepi.
***
Tidak tahan menunggu lama, Stefania mencecar kekasihnya yang memiliki jenggot awut-awutan yang niatnya pengen ngembarin Chris Evans tapi fail, dengan berbagai pertanyaan.
Ahmad mendengarkan rentetan pertanyaan dari Stefania dengan sabar dan seksama, menyadari bahwa dirinya telah menyakiti hati wanita yang sudah membersamainya selama 2 tahun.
Ahmad: “Aku sudah lama pengen bilang ini, Sayang.. eh Stefania.. Jadi kebetulan kamu nge-gap kami berdua, aku sudah lama ingin putus. Aku sekarang sama Mulan…”
Stefania: “………..”
Stefania tidak menyangka hal ini terjadi padanya. Diputus oleh kekasihnya yang sudah menggandeng wanita lain. Rasanya sangat malu bercampur marah, namun dia tidak ingin bertindak barbarly.
Ahmad: “Kamu akan berterima kasih padaku nanti, Stefania. Aku tidak pantas untukmu. Kamu berhak dapetin yang lebih dari aku.”
Stefania masih kalut dan menahan emosi; keinginannya untuk tetap anggunly seperti panutannya, Vindy Lee, harus dijalankan.
Setelah mendengarkan alasan panjang lebar dari Ahmad, Stefania memberi respons.
Stefania: “Ahmad, kamu betul! Gw pantesnya dapetin yang lebih dari elo! Pantesan selama ini elo ngajaknya ke Kopi Tuku terooosss. Padahal gw kan pengennya elo traktir gw di Common Grounds. Elo maunya ngasih yang murah-murah buat gw. Ternyata, ternyata.. ini semua karena nih cewek!” sambil menunjuk-nunjuk ke arah muka Mulan.
Ahmad: “Eh eeee, Kopi Tuku kan termasuk mahal, Sayang. 25 rebuan. Eee yang murah itu kopi sasetan good day moccachino.”
Stefania: “Ahh alasan! Gw sekarang maraah banget dan merasa teraniaya. Gw akan gunakan kesempatan ini untuk doain kamu yang buruk-buruk!”
Ahmad hanya bisa diam mendengarkan luapan kata-kata dari Stefania, pasrah.
Stefania: “Gw harap elo… elo… elo kagak pernah bisa jadi presiden Republik Indonesia!! Paling mentok cuman jadi menterinya doang!! Selama-lamanyaaaaaa!“
Puas mengeluarkan kekesalan dan sumpah serapahnya, Stefania meninggalkan mereka berdua.
***
Detik itu Stefania tak lagi memiliki semangat untuk makan, padahal tadinya dia ingin sekali makan ayam penyet-nya Bu Kris, namun kini nafsu itu hilang.
Dari spionnya, Stefania memandangi kekasihnya yang sudah menjadi mantan, sedang bergandengan tangan dengan kekasih barunya.
Sambil tetap mengendarai mobilnya, pikiran dan kondisi hatinya yang tidak keruan membuatnya lepas kendali.
Di tengah gusarnya, Braaakkk.
Seketika Stefania terkaget dan sadar. Dia baru saja menabrak motor yang sedang parkir di depan Indomaret sebelah KokoHo.
Stefania: “Astagaa. Astagaaa! Aaaaaaaaaa. Purrrrrfect banget hidup gw!”
Panik yang melandanya membuatnya memejamkan mata sebentar untuk mencari solusi yang jitu.
Stefania: “Ahh yang penting bayar. God, semoga orangnya gak nuntut ke kantor polisi. Lagian tuh orang ampun deh, parkir kok di situ, ya ampun. Gak disiplin bener tuh orang. Hahhhh tapi gimanapun tetep wae mobil yang disalahin. Aduhhh Tuhan, harus gimana aku???”
Komat-kamit ketakutan, Stefania tetap berada di dalam mobilnya.
Beberapa menit kemudian terlihat pemilik motor yang sudah penyok akibat ditabrak mobilnya; muncul dengan wajah beringas, berjalan mendekati mobil Stefania.
Sebagai lulusan S2 Inovasi Bisnis Baru Universitas Prasetya Mulya, Stefania sudah terbiasa dengan segala inovasi, termasuk dalam kesehariannya. Dengan taktis, dia menemukan cara untuk menyelamatkan dirinya.
“Semoga berhasil, Tuhan,” gumamnya sambil melucuti semua pakaiannya.
***
Si empunya motor menggebrak kap mesin mobilnya, dan teriak-teriak kesetanan mengetuk-ngetuk jendela mobil.
Si empunya motor: “Woyyy! Keluar lo! Keluar! Tanggung jawab woyy! Buka!!”
Agak lama Stefania terdiam, trembling. Namun akhirnya dia membuka jendelanya.
Si empunya motor: “Ohh ehh ehh, Mba tidak apa-apa? Ada luka, Mba? Hehehehehehe.”
Mendadak ekspresi wajah pemilik motor berubah drastis. Dari yang buas beringas menjadi sangat manis dan baik seperti kucing imut.
Pemilik motor tiba-tiba menjinak saat melihat sang pengendara mobil ternyata seorang wanita muda yang tidak berbusana, hanya mengenakan bra dan celana dalamnya saja.
Stefania: “Eng tidak apa-apa Pak. Saya minta maaaaaaf sangaaat, Pak. Saya tadi minum Paramex, seharusnya saya tidak boleh menyetir, tapi saya ada keperluan, jadi saya nekat saja. Saya telah merugikan Bapak begini. Saya bayar, Pak, untuk kerugian yang Bapak alami. Kira-kira berapa Pak biaya perbaikan motornya? Tapi tolooong, tolong Pak, jangan lapor polisi ya Pak. Saya akan bayar berapapun!”
Inovasi Stefania kali ini terpaksa dilakukan dengan menanggalkan rasa malunya. Tapi, sepertinya pengorbanannya berhasil, tidak sia-sia.
Si empunya motor: “Emmmm gak usah Mba, tidak apa-apa hehehehe. Mba gimana? Pusing-pusing? Luka? Hehehehehe. Mau saya temeni sampai rumah? Hehehehehe.”
Stefania: “Ohh gak usah Pak, saya bisa sendiri. Sudah dekat kok, Pak.”
Si empunya motor: “Baiklah, Mba. Hehehehe. Hati-hati di jalan ya hehehehehe.”
Bapak pemilik motor terus memandangi mobil Stefania yang melaju sambil memasang senyumnya yang paling manis.
“Duh Gusti, rezeki nomplok. Mimpi apa semalem ya?? Ohh mungkin inilah yang dinamakan rezeki suami sholeh. Alhamdulillah,” si bapak pemilik motor berbahagia.
Masalah pun beres, Stefania berhasil melenggang tanpa kena masalah.
***
***
Sudah sebulan lebih Stefania berstatus sebagai job seeker. Ingin sekali dia bisa masuk ke Unilever atau Traveloka.
“Pokoknya gw harus bisa masuk ke kantor yang lokasinya di Green Office Park! Harus! Harus bisa!”
Resmi menyandang gelar jomblowati sejak seminggu yang lalu, hari-hari Stefania tidak banyak berubah. Eat, sleep, play, repeat.
“Asik juga ya gak bareng Ahmad Dani lagi. Kalau sama dia, gw mulu yang bayarin. Oke, Ahmad, elo bener, gw makasih banget elo sudah bikin gw jomblo. Dhuwit gw utuh. Dasar laki gak modal, mokondo. Sana hush hush ke laut aje.”
Sambil minum matcha ogura dan menikmati betapa estetiknya coffee shop Common Grounds yang ada di ruko Daikanyama Zora, Stefania memikirkan segala hikmah atas kejadian pedih yang menimpanya.
***
Tiba-tiba dari belakang ada seorang laki-laki yang menowelnya,
“Hei, Ril. Ngapain lo di sini??”
Stefania pun menengok ke arah suara, dan terlihat jelas wajah sang lelaki kaget.
“Oh maaf, maaf, saya kira teman saya. Dari belakang mirip. Maaf Mba.”
Serasa dejavu, Stefania seolah terbius dengan keberadaan pria itu, sembari berpikir apakah begini rasanya love at the first sight. Some bulshit stuff yang dia tidak percayai. Tapi hari itu….. berbeda.
“Eh gak usah minta maaf. Gapapa, beneran gapapa.. Umm mau join? Sudah penuh tuh,” dengan ramah Stefania menawarinya duduk bersama, mengingat pengunjung yang membludak hingga tak ada lagi meja tersisa.
“Kecuali, memang ada janji dengan teman…,” Stefania meneruskan kalimatnya.
“Ohh enggak, saya lagi sendiri. Boleh, boleh. Saya duduk sini ya,” lelaki itu menarik kursi yang ada di samping Stefania.
Stefania: “Siapa nama elo? Gw Stefania.”
“Stefania? Hahahaha. Elo gak bakal percaya!” balas lelaki yang baru dikenalnya.
Stefania: “Apaan?!”
“Nama kita mirip! Gw Stefanus!”
Stefania: “Hahhh, oh my hahahaha. Life is full of mystery, bro!”
Stefanus: “Elo kuliah or kerja?”
Stefania: “Gw penganggguran! Hahaha. Susah dapetnya. Kalau elo? Kayaknya sih udah gawe ya. Vibe-nya beda.”
Stefanus: “Hahaha, emang kayak gimana vibe-nya? Yup, elo gak salah nebak, gw di Unilever, bagian R&D.”
Stefania: “Whaaaat! Whaat! Oh my Gooooood. Unilever?! Serius nih elo di Unilever? Fix gw resmi iri sama elo! Gw pengen banget kerja di situ. Gimana sih caranya?? Gimana? Gimana? Kasih kiat-kiatnya dong!”
Percakapan mereka berlanjut panjang dan lebar, dan diakhiri dengan bertukar nomer HP.
***
Sejak hari itu, Stefania dan Stefanus makin intens bercakap-cakap melalui WA. Stefania merasa telah menemukan long lost friend-nya. Ahmad Dani sudah terkubur entah ke mana. Tak ada lagi kesedihan yang mengusiknya.
Tiririiiit tiritititiiiiiitttttt…
Telepon Stefanus: “Stefania, nanti mau makan di mana? Gw sudah beres nih.”
Telepon Stefania: “Tumben jam 4 dah beres.”
Telepon Stefanus: “Jumat woy. TGIF. Anak-anak juga dah pada ngabur.”
Telepon Stefania: “Hahaha, yoi. Okelah, Common Grounds aja lagi deh. Masih belom bisa move on dari matcha ogura-nya gw tuh.”
Telepon Stefanus: “Oke, cusss lah. Langsung temu sana ya!”
Telepon Stefania: “Gw jemput elo deh. Boleh gak sih gw lihat kantor elo?”
Telepon Stefanus: “Boleh banget!”
***
Tepat jam 19.04 mereka sampai ke Common Grounds. Suasananya ramai sekali, orang-orang masih berdatangan dan penasaran nyobain coffee shop yang sedang hype ini.
Untungnya, mereka berdua dapat kursi di luar.
Stefania: “Tempat ini jadi spot kita berdua ya Stefanus.”
Stefanus: “Iya, tapi jujurly gw gak berani sering-sering ke sini, mahal oy.”
Stefania: “Kali ini gw traktirin deh. Tapi besok-besok bayar sendiri-sendiri yawww.”
Stefanus: “Eh eh jangan. Jangan. Elo kan masih unemployed, entar aja kalau dah berhasil jadi junior gw di Unilever, boleh lah sekali-kali bayarin gw. Haha.”
Stefania: “Dih, tapi, elo kagak pernah bayarin gw. Padahal dah kerja.”
Stefanus: “Hahaha, sorry. Oke deh, kali ini gw bayarin ya.”
Stefania: “Hahaha, canda, kagak usah Stefanus. Duit bokap gw limitless. Gw bayar sendiri aja. Terus, kalau boleh tahu, ehem ehemmm mau serius nanya, why so ngirit?”
Stefanus: “Hhhmm apa ya. Gw nih kan udah 30 tahun, pasti pengen dong suatu saat nikah. Jadi ya, gw harus nabung sejak dini. Tinggal nunggu calonnya aja nih hahahaha.”
Stefania terbengong dan kagum dengan kesungguhan Stefanus dalam meraih sesuatu.
Stefania: “Wow, speechless gw.”
Beberapa saat mereka berdua terdiam.
Stefania: “Ehh bikin nama panggilan yuk. Gw capek manggil elo sepanjang itu Se-te-fa-nus. Empat suku kata, Bro!.”
Stefanus: “Lhahh kok sama! Gw juga ngerasa nama lo tuh kepanjangan! Lima suku kata, Sis! Se-te-fa-ni-a!”
Stefania: “Gimana kalau pake akhiran kita masing-masing?? Gw Fania, elo… umm yang pasti jangan Anus lah ya hahahaha. Fanus? Hah jelek dah Fanus. Apa ya???”
Stefanus: “Atau… Ste aja? Elo Ste, gw juga Ste. Duo Ste?”
Stefania: “Hahahahahaha oomoo omoo brilian. Sold! Duo Ste! TeSaTe!”
Stefanus: “Weitss, jangan TeSaTe lah, Kakak.”
Stefania: “Hhhmmm mungkinkah kita ini.. jodoh, Ste?”
Stefanus: “……..”
Stefania: “Think about it! Nama kita sama. Kesukaan kita sama. Gw pengen kerja di tempat yang sama kayak elo. Kita sama-sama pake kacamata. Kita sama-sama suka maen HP. Dan, selama ini gw gak percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama, tapiii, lihat kamu… emmm…”
Belum selesai meneruskan kata-katanya, Stefanus menggenggam tangan Stefania.
Stefanus: “Ya, Ste. Aku. Ehh kenapa tiba-tiba gw malu ya mau ngomong ‘elo gw’ sama elo. Aku juga ngrasain yang sama kayak kamu, Ste.”
Stefania tersipu malu dan mengunyah rotinya dengan pelan, karena kegembiraan yang dia rasakan kini sulit dibendung; khawatir makanannya tersembur ke muka Stefanus dan ruin the moment.
***
***
***