Setiap hulahopan, saya selalu menyalakan TV. Netflix kek, Prime Amazon kek, HBO kek, musik di Youtube kek.
Ehh hari ini entah gimana saya sampai ke podcast “LUNCH #103: Filosofi Teras – Dari 2300 Tahun Lalu Untuk Masa Kini”.
Semesta mengarahkan saya ke seseorang yang membuat saya pengeeen banget bisa ketemu.
Yang bakalan membuat saya yang pendiam ini bisa ngoceh tanpa jaga image.
Yang akan bikin saya ngobrol tanpa henti sampai gak tidur semalaman, padahal saya ini ngantukkan, gak kuat bobo malem-malem.
Beliau adalah Bapak Henry Manampiring.
Salute dan respect, Sir! Thank you for your astonishing insight.

***
Semua kalimat yang mengalir keluar dari dirinya, membuai saya. Klop sekali dengan visi misi saya dalam memandang hidup. Gimana sih baiknya manusia menjalani hidupnya di dunia ini.
Saya bisa bilang bahwa saya BUKAN orang yang RELIGIUS, melainkan orang yang SPIRITUALIS.
***
Bahwa hidup itu harus selaras dengan alam semesta.
Bahwa nalar atau akal budi adalah karuniaNya yang merupakan prime stuff untuk kita menjadi manusia seutuhnya. Jangan sampai gak dipakai.
Bahwa hidup itu is all about feel contented.
Bahwa ada 2 aspek penting dalam kehidupan kita agar selalu blissful, bahagia lahir batin; yakni menyadari ADA SESUATU YANG BISA KITA KENDALIKAN dan ADA YANG DI LUAR KENDALI KITA.
Bahwa rahasia menjadi chill, salah satunya adalah memahami bahwa setiap manusia itu beda. Gak perlu jadi sedih atau anxious saat orang lain scold kita, atau bahkan hate kita. Atau saat opini kita tidak disetujui.
Bahwa kita tidak perlu euforia dan meluapkan emosi di polar. Kalau kita suskes, alhamdulillah, bersyukur tanpa berpesta pora yang berlebihan. Kalau gagal, tetap semangat dan optimis. Santuyyy.
Bahwa semua manusia, despite their status, kekayaan, jabatan, dan sejenisnya; equal. Tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya. Bapak pengangkut sampah dan bos start-up, keduanya diperlakukan sama. Semua dihormati.
Bahwa kita tidak perlu atau malah jangan venting out kemarahan kita. Marah pastinya normal, that’s very humane. Tapi jangan juga kita tahan, jangan di-suppress. Instead, finding the root cause-nya dan deal with it. Hadapi!
“KESABARAN ADA BATASNYA!” Dari segi filosofi STOA, kalimat ini tidak ada. Kalau kesabaran saja ada batasnya, maka itu namanya BUKAN kesabaran. Sabar ya sabar. Tidak ada batasan.
***
Satu setengah jam melihat dan mendengarkan beliau menjelaskan tentang STOIKISME, memicu saya untuk ingin sekali berdiskusi dengan beliau.
Kapan itu akan terjadi?? Ahh yang penting saya mendoa dulu saja padaNya. Siapa tahu harapan saya ini dikabulkan olehNya, someday… 🙂
***
***
***