Ada ITB-nya · Body, Mind, Soul · Memori & Nostalgia · Tantangan MGN

Pengalaman Berbahasa Seorang Wanita ‘Ndeso’

BAHASA DAN MANUSIA

Ketika sedang merenung, saya selalu awestruck dengan keberadaan dunia dan seisinya. Termasuk diantaranya adalah eksistensi sebuah BAHASA, yang membuat sesama manusia bisa berkomunikasi dan membangun peradaban besar di bumi.

Terhitung sejak manusia hadir ribuan tahun yang lalu hingga saat ini, sudah terdapat ribuan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yang keberagamannya terdengar sangat indah di telinga.

Dari yang awalnya (mungkin) hanya ‘uu aa uu aa’ dan suara grunting; groaning; crying out; sighing, sampai sekarang di mana sudah ada milyaran kata bertebaran, yang bahkan banyak kata yang sulit sekali diucapkan dan dieja sampai harus dimasukkan dalam kompetisi spelling bee, seperti: ‘esquamulose’;appoggiatura’;.. —artinya cari sendiri di google ya ehehe–.

Juga yang menjadi ‘santapan’ sehari-hari ketika saya berkuliah di Departeman Biologi, yakni nama latin hewan dan tumbuhan, seperti: Rattus norvegicus; Staphylococcus aureus; Cnidoscolus aconitifolius; dan masih banyak lagi. *mblenger.

Banyak kata-kata dalam bahasa Indonesia yang berupa hasil peleburan dengan kata-kata dari bahasa lain, yang biasa disebut sebagai KATA SERAPAN. Seperti: ‘buku’ (dari ‘book’); ‘coklat’ (dari ‘chocolate’); ‘traktir’ (dari ‘trakteren’), ….

Saya jadi teringat bahasa Jaksel, yang basically rutin dipakai anak-anak muda gaul nan hits yang tinggal di area Jakarta Selatan. Mereka suka nge-mix bahasa Inggris dengan Indonesian, like, literally. Bukan hal yang impossible, suatu saat kata-kata which mereka buat akan menjadi kata baku di dictionary.

Seperti halnya suatu spesies yang akan punah ketika tidak mampu beradaptasi, begitu pun dengan kata. Banyak kata yang sudah masuk kategori kuno yang tidak pernah dipakai lagi, namun banyak juga kata-kata baru yang muncul dan berusaha untuk survive.Unfriend‘; ‘bitcoin’; ‘twerk’; ‘binge-watch’, ‘buzzworthy’, ‘bling’, ‘mini me’; ‘bromance’; ‘chillax’; ‘vlog’;… saya yakin generasi papah mamah kita tidak paham arti kata-kata tersebut.

Inilah yang dinamakan suatu EVOLUSI BAHASA oleh para linguists.


BAHASA YANG VIRAL DAN MENDUNIA

Era informasi yang advance di masa sekarang sangat memudahkan manusia untuk saling mengenal, mengetahui, dan belajar bahasa yang ada di segala sudut dunia. Melalui social media; film; musik; serta app belajar bahasa, seperti Duolingo dan sejenisnya.

Walaupun sedikit disayangkan, karena berdasarkan pengamatan saya, kata dalam bahasa asing yang mudah diingat dan fasih dilafalkan adalah kata cursing-nya ya. Ehehe.

Seperti: ‘puto‘, ‘puta’, dan ‘puta madre’, di bahasa Spanish.

Lalu ‘baka’ di bahasa Jepang; ‘bollock’ di bahasa Inggris para Londoners; ‘sshi-bal’, yang sering diucapkan oleh para Oppa dan Eonni Korea; atau ‘merde’ di bahasa Perancis.

Artinya? Ya 11-12 lah dengan ‘F-word’; ‘S-word’; ‘B-word‘; ‘MF-word‘ di Bahasa Inggris atau beberapa jenis binatang (jangkrik; anjing; babi; asu;..) yang tidak diucapkan sebagai makna denotasi di Bahasa Indonesia.


PENGALAMAN BERBAHASA SEORANG WANITA KEDIRI

BAHASA JAWA

Tentu saja sebagai manusia yang dilahirkan di Kediri -suatu kota kecil di Jawa Timur- , yang juga merupakan hasil pembuahan pasangan suami istri berdarah Jawa; bahasa Jawa adalah bahasa asli saya. Layaknya hampir semua daerah di Indonesia, orang Kediri memiliki gaya tersendiri dalam menggunakan bahasanya.

Bahasa Jawa yang digunakan oleh orang Kediri (yang selanjutnya akan saya sebut dengan ‘Bahasa Kediri’) mengutamakan unsur berikut: memantabbkan, menegaskan, menekankan, dan me-lebay-kan.

Selalu ada kata awalan yang jika berdiri sendiri tidak ada artinya, seperti ‘uuwaa‘ dan ‘uuwee‘, yang terlihat pada kata: ‘uuwaangel‘ (sangat sulit); ‘uuwaakeh‘ (sangat banyak); ‘uuweenak‘ (sangat enak).

Penggunaan kata yang mengandung huruf ‘d’ juga dimantabbkan menjadi ‘dh’, misalnya: ‘brodhol‘ (rontok); ‘bodhol‘ (rusak). Jadi pemakaian huruf ‘d’ itu tidak bisa biasa saja gitu, harus luar biasa uhh mantabb.

=================================================================

Di usia 18 tahun, saya hijrah ke kota Bandung untuk menjalani hidup sebagai mahasiswa ITB. Disinilah saya memperoleh pengalaman amazing di mana saya bisa bertemu dengan teman-teman dari Sabang sampai Merauke.

Semua kawan baru pasti langsung bisa menebak bahwa saya orang Jawa. Selain karena aksen medhok yang kental, kemungkinan juga karena wajah yang khas Jowo, yang ketika TK memenangkan juara 1 ‘Lomba Mirip Wajah Ibu Kita Kartini’. Raden Adjeng Kartini yang merupakan epitome wanita Jawa.

(Made with CANVA)

Padahal saya sudah berusaha menyembunyikannya dengan sok sok Jakartans, tapi ternyata epic failed! Ya bisa dibayangkan lah bagaimana orang medhok dengan sangat pede memakai kata ‘elu gw’.

Kala itu saya malu dengan logat Jawa saya yang terdengar sangat ndeso, apalagi teman-teman di kampus terdengar ‘sangat kota’. Namun saya sadar kalau saya ngomongnya di-kota-kota-in nanti malah jadi malu maluin. Akhirnya saya embraced keadaan diri saya yang medhok ini. Saya meyakinkan diri agar tidak malu dengan ke-Jawa-an saya dengan menyematkan tagline ‘ACT LOCALLY, THINK GLOBALLY’ . Logat boleh medhok bin ndeso, tapi pola pikir harus mendunia! Dibilang orang Jawa, ya memang wong Jowo! Ehehe.

Tapi malunya saya tidak separah teman saya lho. Setelah beberapa bulan sejak resmi menjadi mahasiswa ITB, saya melihat teman SMA di kantin GKU Lama, yang sebut saja namanya Mela. Saking excited-nya, saya segera berlari menujunya sambil bersuara cukup kencang memanggil namanya,

“Mel, Mel, bhiyoohh wes suwi ora ketok. Kowe arep maem nang kantin to? Yok barengan. Iki mau bar kuliah opo? Bukumu kuwandeel eram”, (“Mel, Mel, ya ampuun lama gak kelihatan. Kamu mau makan di kantin ya? Bareng yuk. Ini tadi baru selesai kuliah apa? Bukumu tebal amat”)

Dengan semangat saya menghujaninya dengan rentetan pertanyaan dan pernyataan dalam bahasa Kediri.

Ternyata kegirangan saya bertepuk sebelah tangan, mata Mela tidak berbinar dan tidak tersenyum seolah tidak mengenal saya. Tapi saya tetap berusaha mendekatinya. Meskipun tidak terdengar suaranya, saya lihat mulutnya komat-kamit. Ngomongnya sangat pelan seperti berbisik.

“Kowe ngomong opo to?? Aku gak krungu blass. Seng bbhuanter ngono lho!” (“Kamu bilang apa sih? Aku gak dengar. Yang kenceng dong!”)

Lalu Mela menjawab dengan suara lebih keras dan memakai bahasa Indonesia.

“Aku sudah selesai makan, Ril! Aku pergi dulu ya, harus ke jurusan!”

Saya terdiam melihatnya meninggalkan saya secepat itu, dan merasakan sakitnya tuch di sini… ouchh

=================================================================


Sampai detik ini, di usia saya yang sudah 30++ (sstt, plus-plus-nya rahasia ya wkwk) saya masih saja medhok. Logat original saya tidak bisa hilang, tapi saya sudah tidak malu kok. Bahkan sejak sudah berkeluarga, dengan bangga saya menggunakan nama depan saya yang Jawa banget dalam bersosialisasi.

“Nama saya Sri, Bu Sri..”

=================================================================



BAHASA INDONESIA

Mamah papah tidak pernah mengajak dan mengajari saya ngomong bahasa lain selain the one and only bahasa Kediri. Bahasa Indonesia saya kenal dari sekolah, dan masih masuk kategori nunak-nunuk.

Ketika saya duduk di kelas 1 atau 2 SD, sepupu-sepupu saya yang dari Jakarta berkunjung ke rumah. Tentu saya harus memakai bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan mereka.

Kala itu kami bermain kejar-kejaran dan di tengah permainan, salah satu sepupu saya, Rani, menanyakan,

“Ril, tadi Citra lari ke mana?”

Citra ada di belakang. Tapi saya tidak tahu (atau lupa) dengan kata ‘belakang’, akhirnya saya menjawabnya dengan,

“Itu, di mburi

Mburi adalah bahasa Jawa dari kata ‘belakang’.

Tentu Rani kebingungan mendengar jawaban saya. Untungnya ada bahasa universal, bahasa tubuh, yang bisa menyelamatkan miskomunikasi kami. Dengan menggunakan gerakan tubuh dan tangan, akhirnya Rani paham bahwa ‘mburi’ itu maksudnya ‘belakang’. Bisa tergambar kan bagaimana kemampuan bahasa Indonesia saya saat masih kecil. Nunak-nunuk.

=================================================================


Ada satu lagi kata dalam Bahasa Indonesia yang membuat saya tidak mendapatkan nilai 100 bulat di pelajaran Fisika. Kalau ingat, aduhh kesalnya!

Waktu SMP kelas 1, saya tidak menyangka bisa excited belajar bidang studi baru, Fisika. Awal pertemuan dengan Bapak Guru pengajar Fisika, saya merasa klik dengan pelajaran ini. Beberapa kali, Bapak Guru melayangkan pertanyaan, di kelas hanya saya yang selalu angkat tangan dan menjawab dengan benar. Selang beberapa minggu, ulangan pertama pun tiba, tentang GERAK. Saya sudah sangat yakin akan mendapat nilai 100, karena saya bisa, saya mampu, dan saya mau belajar!

Sampai semuanya buyar saat saya melihat pertanyaan no 1. Saya tidak paham apa artinya. Begini bunyi pertanyaannya:

1. Apakah definisi dari geraK?

Serius, saat itu saya sama sekali tidak tahu apa artinya DEFINISI. Akhirnya saya selesaikan soal yang lainnya dulu. Sesudah beres, saya memberanikan diri menanyakan ke Bapak Guru,

“Pak Dwi, definisi itu artinya apa?”

Dan, Bapak Dwi menjawab,

“Definisi itu ya definisinya. Artinya ya itu”

Kira-kira begitulah, pokoknya saya ingat jawaban beliau itu sama sekali tidak membantu.

Hhuhhh. Karena waktu yang sudah sangat mepet, saya tulis saja semua yang saya ketahui tentang GERAK. Jawaban paling panjang tapi tidak esensial.

Taa daa, pantas saja nilai saya hanya 97! Andai saja saya tahu arti dari ‘DEFINISI’, saya tidak perlu capek-capek menulis panjang lebar, melainkan hanya cukup 1 baris:

Gerak adalah perubahan kedudukan suatu benda dari posisi awal.

Dan bisa meraih nilai 100!

=================================================================


BAHASA INGGRIS

Pertama kali belajar bahasa Inggris adalah saat saya duduk di kelas 2 SD. Bude yang rumahnya hanya berjarak 10 menit, rutin memisahkan lembar halaman “Belajar Bahasa Inggris Untuk Anak” yang muncul setiap hari Minggu di koran JAWA POS. Saya tidak menyangka betapa semangatnya saya mempelajarinya. Mungkin karena saat itu saya demen dengan Sesame Street. Mirip pengalaman Hicha.

Tinggal di kota kecil, Bahasa Inggris bukanlah hal yang populer bagi para pelajar, terutama anak SD. Dengan bermodalkan bisa berhitung dari angka 1 sampai 20 yang saya pelajari dari koran JAWA POS; saya dibilang jago baHAsa Inggris. Saya merasa ‘di atas’, tak ada lawan!

Di SMP, saya resmi menerima pelajaran Bahasa Inggris di sekolah. Karena saya sudah curi start sejak SD, pertemuan pertama meninggalkan kesan positif buat guru dan teman-teman sekelas. Dengan bermodalkan tahu grammar ‘I am’, ‘you are’, ‘he is’,… lagi, saya dibilang jago baHAsa Inggris. Apalagi ketika banyak teman yang menganggap ‘no what what‘ merupakan terjemahan untuk ‘tidak apa-apa’; dan ‘blekketdet‘ untuk ‘kucing hitam mati’. Fix tak ada lawan!

SMA juga begitu, tapi di sini sudah ada lawan, banyak malah, karena SMA yang saya masuki adalah yang terfavorit di Kediri. Namun saya tetap lumayan unggul, malah saya pernah diminta seorang teman untuk menerjemahkan surat cintanya ke dalam bahasa Inggris dan saya mampu. Menurut saya itu sebuah achievement.

Nah, shock saya dapatkan saat kuliah. Kemampuan english saya tidak ada apa-apanya dibanding teman-teman. Mereka fasih dalam speaking-nya. Setelah membaca text book pun terasa makin mblenger. Ditambah kebingungan saya dengan tes TOEFL, skor pun hanya 400an. Saya baru menyadari bahwa Bahasa Inggris saya masih level beginner.

Pujian memang bisa menyesatkan ya. Membuat saya berpuas diri dan tidak ingin mengeksplor lebih dalam. Gelar JAGO BAHASA INGGRIS yang saya terima saat duduk di SD, SMP, dan SMA, ternyata hanya ‘abal-abal’ semata.

=================================================================


BAHASA JEPANG

Lulus kuliah, sambil menyandang profesi sebagai ‘job seeker‘, saya signed up kursus Bahasa Jepang di BLCI. Tapi saya tidak optimal menjalankannya. Beberapa kali pertemuan harus saya skip karena bentrok dengan jadwal wawancara kerja. Teman baru yang saya temui di tempat kursus sering mengajak saya karaoke setelah selesai les. Bisa habis duit saya, belum juga dapat kerja. Lagian dulu kok saya mau ya diajakin, the-old-me tidak berani bilang TIDAK. Setelah mempertimbangkan banyak hal, saya merasa bahwa (kala itu) saya sedang tidak membutuhkan bahasa Jepang, akhirnya saya memutuskan untuk tidak meneruskannya. Seperti yang Risna tulis, bahwa kalau sedang tidak butuh, ya tidak ada motivasi mempelajarinya.

=================================================================


BAHASA SPANYOL

Dalam rangka membuat otak saya terus ter-occupy, juga karena saya tertarik untuk mempelajarinya setelah saya tergila-gila dengan serial Narcos di Netflix; lately saya rutin belajar bahasa Spanyol melalui app Duolingo. Mendengar orang-orang Amerika Selatan ngomong terdengar lucu dan penuh semangat. ‘Como estas’, ‘mira’, ‘nada’, ‘si’, ‘mi casa es su casa’, ‘esta bien’, …

Lafal pengucapannya pas banget diucapkan oleh wong Jowo medhok seperti saya, yang khas dengan pemakaian kata ‘d’ dengan ‘dh’, pokoknya yang sangat ‘menekan’ agar terdengar mantabb.

Selain itu, antara ejaan dan bunyi, seperti bahasa Indonesia, seperti: ‘inhale’ dibaca ‘in-ha-le’ bukan ‘inhel’; ‘idea’ dibaca ‘i-de-a’, bukan ‘aidie’.

Yang perlu diperhatikan adalah pemisahan kata feminin dan maskulin, aduhh kok sexist wkwk. Tenang, tidak perlu beranggapan sejauh itu, pasti para ancestors mereka punya alasan tersendiri. Untuk kata yang feminin diawali dengan kata ‘la‘, seperti: ‘la mujer‘; ‘la manzana‘; ‘la cuchara‘. Sedangkan kata maskulin diawali dengan kata ‘el‘, seperti: ‘el hombre‘; ‘el libro‘; ‘el cuchillo‘.

Kemudian peletakan antara kata benda dan kata sifat yang berbalikan prinsip dengan bahasa Inggris, seperti: ‘la falda larga‘ (a long skirt); ‘un pelo hermoso y saludable‘ (a beautiful and healthy hair); ……. lalu, lalu, lalu…..

Entonces, uummm, … espera… por que te tengo que ensenar ese languaje? Debo parar ahora!

=================================================================


MENCIPTAKAN BAHASA IBU BAGI ANAK SAYA

Mengetahui fakta bahwa otak bayi seperti ‘sponge’, saya bertekad untuk mengajak anak saya ngobrol langsung dengan 2 bahasa sekaligus, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Jadi dengan sudah menguasai 2 bahasa sejak infant, dia bisa menggunakan source-nya untuk belajar bahasa yang lain.

Saya juga menyuguhkan untuknya film-film, musik, buku, yang semuanya berbahasa Inggris. Saya memang sudah niat banget agar anak saya menganggap bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Dan it works!

Kalau mendengarnya speaking, dia terdengar seperti native. Jadi walaupun sang anak belum pernah tinggal di luar negeri; ortunya bukan bule; kita bisa lho ‘shape’ anak. Kalau saya mampu berbahasa Mandarin, saya tidak segan untuk mengajaknya berkomunikasi dengan 3 bahasa sekaligus.

Ohya, speaking of, anak saya juga sudah punya blog berbahasa Inggris, yang berisikan cerita fiksi karangan dia sendiri dan review buku. Mungkin ada teman-teman MGN yang mau menggandeng dan atau membantu menerbitkannya dan,.. dan,.. dan,… walah Bu Sri kok request-nya berlebihan wkwkwk

=================================================================



Membaca pengalaman berbahasa para mamah MGN, yang sudah banyak berkunjung dan bahkan tinggal di berbagai negara; membuat saya termotivasi untuk memaksa Pak Suami agar mau pesan tiket segera. Maaf ralat, …. mengharap padaNya agar suatu saat diberikan kesempatan melanglang buana. 🙂

=================================================================


Artikel ini ditulis untuk ikut berpartisipasi meramaikan Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog (MGN) bulan September dengan tema “Pengalaman Berbahasa Seumur Hidup”.

=================================================================

30 thoughts on “Pengalaman Berbahasa Seorang Wanita ‘Ndeso’

    1. Ahahaha Restuuuu. Dari cara menulis komentarnya, sudah kelihatan kalau Restu tidak bisa bahasa Jawa. Ehehe.

      Ada benefitnya ya Restu, sejak kecil Restu diminta orangtua untuk selalu berbahasa Indonesia, jadi pas masuk ITB, ga perlu melalui episode malu kayak saya. 😅

      Like

    2. Sebagai orang berdarah Batak murni yang lahir di bandung, dari kecil berkomunikasi Bahasa Sunda pasif dan bahasa Indonesia aktif di lingkungan pertemanan, berbahasa Batak pasif di rumah.Membuat saya menyadari, kecerdasan berbahasa orang berbeda2. Uril keren bgt bisa fasih bahasa daerah dan beberapa bahasa asing.

      Like

      1. Venyyyy, wah Veny trimakasih sudah berbagi. Selama kenal Veny, belum pernah mendengar secara langsung Veny menggunakan bahasa Batak. Logatnya saja sangat Bandungnese. Ehehe.

        Ehehe yang Jepang sudah stop saat itu juga Ven, jadi sekarang ingetnya cuma: moshimoshi, arigatou, dan itadakimasu doang wkwk.

        Sedangkan yang Spanish juga masiy belum fasih, masiy sering salah bagian kata ganti dan kata imbuhan.

        Like

    3. Restu, duh maaf, setelah saya membaca reply saya buat komentar Restu, saya tidak tepat ya. Mengenai yang ‘Restu tidak bisa bahasa Jawa’. Duh maaf, maaf ya Restu geulis.

      Restu kan memang awalnya bisa berbahasa Jawa ya, hanya saja dibatasi penggunaannya oleh Ayahanda, karena takut salah penempatan. Basa Jowo kan memang ada alus kasar begitu ya ehehe, kalo dengan yang sudah sepuh harus memakai bahasa Jawa yang kromo inggil.

      Kalo sebaya, boleh ngoko.

      Nah memang banyak kejadian siy, anak2 mudanya belum bisa membedakan antara yang ngoko dan kromo. *ive been there done that ehehe.
      Dan menurut para yang sudah sepuh, salah pemakaian alus-kasar ini bisa dianggap tidak sopan. *ku dulu pernah kena marah karena ini. Ehehe.

      Like

  1. Bu sriii… Ngakak so hard (Bahasa Jaksel bkn nih😅)
    Kerennn… Jd penasaran sama putrane Bu Sri ini, mamahnya hebat pasti anaknya lbh hebat👍

    Like

    1. Ini Mita, yang Mita-ku bukan ya? Ehehehe. Tapi sepertinya iya deh. Ehehe.

      Mitaaa, mator suwon ya Mita 😍. Buenerr kuwi Mita, wes basa Jaksel an. Ehehe.

      Insha Allah mugo2 iso ketemu dengan Tante Mita dan adik-adik kecil, Rafa & Ragha 😍

      Like

  2. Bu Sri, lucu banget..aku baru nyadar sekarang,susahnya perjuangan teman-teman non Bandung/Jakarta untuk adaptasi berbahasa waktu kuliah ya. Dulu angkatanku kaya kebagi dua gitu, genk anak Bandung dengan anak Jawa (selain daerah itu sedikit soalnya). Yang anak Bandung pada jail, ngajarin Bahasa Sunda yang ngga ngga hehe. Tapi setelah beberapa bulan pada bisa juga temen-temen dari Jawa, walaupun tetep aneh denger maneh urang pakai logat Jawa 🙂
    Btw yang surat cinta translate ke Bahasa Inggris unik juga, la nanti kalau gebetannya ga bisa Bahasa Inggris gimana haha.

    Like

    1. Ahahaha May, saya jadi ingat, dulu teman saya yang orang Jawa tapi beda kota asal, juga ada yang dikerjai. Dibilang kalau bahasa Sunda-nya ‘keren’ adalah ‘belegug’. Ampuun wkwkwkwk.

      Btw, adik saya pas kuliah juga ikut LSS ehehe, padahal wong Jowo, tapi dia suka budaya Sunda ehehe.

      Ahahaha incerannya pinter bahasa Inggris, May. Yang saya khawatirkan, ya pas dia dapat balasan dengan basa Inggris juga, bakal bingung kayaknya wkwkwk. Tapi waktu itu ga dapat balasan dianya, kasihan ehehe

      Like

  3. Jadi enaknya dipanggil teh, mbak, atau Bu Sri, nih, Bu Sri? *eh*
    Saya nggak pernah menganggap yang medhok itu ndeso, tapi kadang gengges kalau sesama anak daerah ngomongnya pake lo-gue. ^^”
    Btw, kita sesama anak BLCI ya, bu… Untungnya saat itu teman-teman les saya paling jalan barengnya kalau pas ujian selesai aja. Walaupun saat itu sudah bekerja, tekor juga kalau tiap minggu dua kali makan-makan atau karaokean melulu. Hehehe.

    Like

    1. Ahaha Hicha, bebas kok. Di circle MGN, saya pakai nama panggilan yang original, Uril. Tapi dipanggil Sri, tentu saja boleh ehehe.

      Saya gunakan nama Sri sejak menikah, jadi sekarang ibu2 tetangga, ibu2 sekolahan, ibu2 arisan, elemen pekerja yang saya temui,..memanggil saya dengan Bu Sri.

      Iya betul sekali Hicha. Padahal teman teman saya dulu santuyy dengan ke-Jawa-an saya, ga ada yang ngejekin atau bagaimana, sayanya yang insecure sepertinya wkwk.

      Sama2 anak BLCI, tapi bedanya bahasa Jepang Hicha sudah level advance ya. Ehehe. Saya sudah mandheg.

      Like

  4. Keren teh anaknya udah ada blog. Baru tahu juga soal bahasa Spanyol gitu ya. Kocak banget itu ‘no what what’, hihihi.

    Jadi ingat ada teman dr jawa yg waktu itu workshop komputer di kantor, ditanya mentor jawabnya “Nggeee..” kenceng banget, habis itu malu berat 😂

    Like

    1. Belum Rijo. Nah itu saya kok tidak menemukan informasi beginian ya. Mengenai bagaimana-bagaimananya menerbitkan buku secara indie.

      Makasiiy ya Rijo, dari komentar Rijo, saya jadi tahu keyword jitu untuk mencari informasi. 😊🙏

      Liked by 1 person

  5. Wah teh mau tipsnya ngajarin multilingual ke toddler. Karena aku coba ke anak waktu dia usia 12m malah speech delay sampai 18m. Abis konsul DSA, dapet saran untuk pakai bahasa ibu which is bahasa indonesia aja. Dan akhirnya kosakatanya berhasil nambah sesuai target di milestone dia. Mungkin krn ortunya ngga konsisten bilingual atau pakai english aja kali ya makanya blm working di aku.

    Like

    1. Ranti, insha Allah pasti banyak cara untuk putra putri Ranti belajar bahasa baru. Apalagi usia toddler, juga cepat menyerapnya. Dan syukurlah sudah lancar ya sekarang speech-nya. Bisa mulai memberi bahasa baru.

      Kalau saya, dulu memang sengaja membuat bahasa Inggris menjadi bahasa ibu-nya, Ranti. Jadi saya sudah ngajak dia ngobrol dan mengenalkan bahasa Inggris sejak day 0. Ehehe

      Like

  6. teh.. saya udah dua kali baca dan tetep ketawa baca “blekketdet” .. hahaha.
    Baca dialog bahasa jawanya teteh, jadi kebayang temenku juga yang jawa banget dan medhok. Saya malah seneng dengernya kalau dia lagi ngobrol sama yang sesama jawa.. lucu.

    Like

    1. Ahahaha, iya Anggun, saya dulu juga suka ngetawain teman saya tersebut. Tapi ketika sudah dewasa, saya merasa bersalah mentertawakan beliau. Ehehe.

      Karena, seorang murid dengan berani menjawab (walaupun salah banget) itu sudah patut diapresiasi, dan berarti sudah berani dan percaya diri. Jadi meskipun salah, kalau dihargai, dia tetap akan mau untuk belajar dari kesalahannya.
      Semoga teman saya tersebut gak kapok mencari tahu ya meskipun diketawain ehehe.

      Ahahaha iya Anggun, makanya teman saya Mela itu, dia malu kalo ngomong Basa Jawa di kampus, makanya ngomongnya bisik bisik; kalo ngomong kenceng, langsung dia ubah jadi Basa Indonesia.

      Like

  7. Hahahaha baru tahu kalau itu khas nya orang Kediri buat mmemmmmperbesar efek kata😁😁

    Jadi ingat pas tpb ada teman dari Boyolali deket sama teman dari medan. Entah apakah saking mereka dekat, si Boyolali ini logatnya Meudaaaaaannnn buanggetttttt- no offense ya, aku kan orang batak meski batak Jakarta. Jadi bingung deh yang orang medan itu dia atau si temannya.

    Tapi berakhir happy ending sih. Si Boyolali ini menikah dengan cowok medan akhirnya. Mungkin dia sebenarnya memang orang medan yang terjebak di badan orang jawa 😁

    Like

  8. Seru amat pengalaman berbahasanya… aku jadi ikutan mbayangin ngomong ueeeeenaaaakkk tenaannn, hahaha…. secara aku juga gakur murni Jawa, dan bapak asalnya juga dari Kediri.
    Anaknya kelas 6? Seumuran sama anakku. Nanti saling intip-intipan blog yuuuks….

    Like

    1. Halo halo Ailyxandria. Sebelumnya, mau nanya dulu, nama panggilannya apa? Ehehe. Takut salah spelling niy.

      Wah iya kah Bapak dari Kediri. Sudah pernah main ke sana, Mba? Kalo ke sana, cobain sego tumpang Mba. Ahahaha. Terlezat sedunia (menurut lidah wong Kediri)

      Wah ayuk ayuk Mba. Minta alamat blog anaknya ya Mba.

      Makasiiy Mba Ailyxandria 🙂

      Like

Leave a comment