Sebuah antologi yang tercipta dari sebuah penghayatan observasi di berbagai koordinat bumi.
***
Wahai Humans, we made it here! Mari direnungkan bersama, kita semua adalah pemenang.
Kita terbentuk dari 1 sperma yang berkompetisi mati-matian melawan ratusan juta lainnya, berenang-renang ratusan ribu kilmeter jauhnya; demi memenangkan hati sel telur angkuh yang jual mahal. Tidak menyia-nyiakan kemenangan ini adalah ke-SEHARUSNYA-an.
Kita adalah para manusia terpilih yang mendapat privilege untuk ngontrak di bumi, gak mbayar pula. Cukup dengan amanah menjaga kontrakan tetap rapi. Ketika datang, kondisi kontrakan rapi; pas pulang juga tetap rapi. Syukur-syukur bisa meningkatkan kerapiannya. Yang penting jangan menjadikannya berantakan.
***
1. Diam-diam Berkarya
Jika ada pertanyaan yang dilayangkan untukku, “Sebutkan satu kata untuk Kazakhstan!”
Saya akan menjawab, “Tiga kata boleh?”
“Boleh, Buk!”
Di mataku, Kazakhstan itu diam-diam berkarya. Sebelum bernafas di negara ini, saya tidak pernah mendengar kabar tentang Kazakshtan yang begini begitu. Berita yang memenuhi isi kepalaku adalah perkara Amerika, Jepang, Korsel.
Namun sesampainya di sini, banyak hal yang membuatku kagum. Kerapiannya, intuitivitas teknologinya (manula bisa menggunakan ATM tanpa bantuan anak cucu), hingga kebersihannya. Tentu saja tak ketinggalan: tampan dan cantiknya.
Tak pernah saya terinterupsi dengan sesuatu yang out of place seperti botol air mineral atau bungkus permen ketika sedang menikmati keestetikannya.
Ternyata di sini littering memang ‘haram’ hukumnya. Ada seorang warga lokal, panggil saja Aitbek Khassenov, pernah merasakan staycation di hotel prodeo selama 3 hari 3 malam. Pada malam hari nan gelap dan sepi, Aitbek membuang puntung rokoknya dari dalam mobil. Naas, ulahnya tercyduk kamera CCTV dan oleh Pak Polisi dibawa ke markas. Membayar denda, jelas. Tapi Aitbek tetap harus menjalani hukuman penjara. Kapok sudah.
Lain lagi dengan pengalaman Miras Amandyk. Hari itu di kala dia craving permen rasa jeruk, kesialan menghampirinya. Ingin segera mengemutnya, bungkusnya terbang terbawa angin waktu membukanya. Sayang ada Pak Polisi berdiri tidak jauh darinya. Apes, Miras dibawa ke kantor polisi dan tetap mendapat hukuman.
Meskipun jalanannya bersih dari sampah, spitting tampaknya tidak melanggar hukum. Beberapa kali saya menemukan ‘ranjau’ ludah, baik encer maupun kental. Syukurlah saya tidak pernah menginjaknya.
Pastilah pihak yang berwenang sudah mempertimbangkan dengan dokter dan ilmuwan terkait, yang mengestimasikan rendahnya resiko penyebaran penyakit melalui air ludah di tanah.
***
2. Lain Ladang Lain Belalang
Lain Kazakhstan tersayang, lain pula Singapura sayang.
Di negara maju ini, meludah bisa didenda 2 kali lipat dari buang sampah ‘normal’. Sebagai informasi, besar denda littering di Singapura adalah 5 juta rupiah. Sedangkan spitting, 10 juta rupiah.
Jadi kepikiran, bagaimana kalau aturan ini diterapkan di Indonesia? Pemasukan bertambah drastis, tanpa perlu menaikkan pajak. Dan efek jera memaksa rakyat membiasakan diri bergaya hidup bersih.
Singapura menjunjung tinggi higienitas, kesehatan, dan keelokan. Mereka sangat concern dengan kandungan sputum (lendir) dalam air ludah walaupun sifatnya low risk. “Lebih baik mencegah” sudah menjadi old habit warga Singapura. Selain itu, visualnya meresahkan dan mengganggu keindahan.
Jika sudah terbiasa meludah, sebaiknya ditelan saja saat berada di sini. Toh menelan ludah bisa menjadi benteng untuk esofagus dan membantu meminimalisir heartburn.
***
3. Kulit Pisang Paman Dolit
Masih ingatkan dengan Paman Dolit yang menerima karmanya langsung dengan terpeleset sesudah membuang kulit pisangnya? Pesan moral dari adegan tersebut adalah tentu saja untuk meng-encourage penonton agar tidak nyampah.
Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin terbuka tabir tentang sisa makanan yang masih bisa memberi manfaat.
Salah satunya adalah kulit pisang, yang berkhasiat sebagai exfoliant kulit wajah dan pemutih gigi. Hanya dengan rutin menggosok-gosokannya, konon hasilnya setara dengan pemakaian AHA-BHA Paula’s Choice dan sticker gigi putih instan.
***
4. Air adalah Sumber Kecantikan dan Kegantengan
Sering mendengar kalimat “Glowing karena air wudu doang“? Supaya tidak misleading, sangat perlu ditambahkan keterangan: dengan catatan airnya harus bersih, bening, tidak berbau, tidak butek.
Anak-anak kos di area Bojongsoang Bandung, mengeluhkan kondisi airnya yang kotor. Kalau sudah begini, skincare sultan pun tak akan mampu membuat kulit cerah berseri.
Sejumlah sukarelawan dari River Cleanup Indonesia menyaksikan sampah yang menumpuk di bagian hilir Sungai Ciganitri di Bojongsoang sebelum memasuki muaranya di Sungai Citarum. Sekumpulan orang baik tersebut sibuk mengangkat sampah yang dijebak memakai trash boom. Terpantau tak terhitung jumlah sedotan plastik, styrofoam, popok bayi, bangkai tikus, ular, ayam, dan segala kebusukan lainnya.
Dua puluh tahun yang lalu, tempat kos saya di Bandung, yang notabene murah dan terletak di gang kecil; airnya melimpah dan bersih.
Sedih, Bandung sekarang berbeda dengan Bandung yang dulu…
***
5. Follower yang Bukan Sekedar Follower
“Ini orang-orang juga pada buang di sini,” jawab seorang perempuan yang bernada membela diri ketika ditanya tentang plastik bekas ciloknya, sambil menunjuk sudut trotoar di Palasari. Yang lebih nyesek, 3 meter darinya, berdiri kokoh tong sampah.
Kebanyakan orang akan memilih untuk menjadi bagian dari komunitas yang jumlahnya banyak. Padahal banyak belum tentu benar.
Sikap ikut-ikutan sudah menjadi bagian dari eksistensi manusia, hasil perubahan komposisi genetik secara turun temurun. Namun jadilah follower yang bukan sekedar follower. Filterlah mau menjadi follower siapa dan yang bagaimana. Pilihlah panutan yang bergaya hidup bersih, sehat, dan mencintai lingkungan.
***
6. Braga VS Malioboro
No debat! Braga dan Malioboro adalah dua spot wisata ngehit kekinian yang menjadi favorit lintas generasi, dari milenial sampai generasi Alfa.
Satu yang membedakannya: SAMPAH.
Terakhir kali saya ke Braga, susah sekali menemukan tempat sampah. Kabarnya ada gerombolan pencuri tempat sampah (?). Suasana jadul bangunan heritage di sepanjang jalan jadi berkurang kebagusannya.
Berbanding terbalik dengan Malioboro. Petugas kebersihan selalu siaga di sekitar. Tempat sampah juga tersedia di sana sini. Jujur saya kaget melihat wajah jalan utama di kota Jogja ini yang makin cantik menghias diri.
Semoga Braga, yang sudah kuanggap sangat personal, segera berbenah untuk kembali menjadi jelita.
***
7. Kondom Bekas dalam Teko Listrik di Sebuah Kamar Hotel
Ingin rasanya saya me-roasting pelakunya dan memberinya edukasi! Bisa-bisanya membuang polysisoprene berisikan cairan seminal yang bau dan menjijikkan ke dalam teko listrik. Sungguh mengguncang kewarasan.
Lacy Windham, seorang dokter spesialis OBGYN asal Amerika yang sudah praktek belasan tahun, membagikan tata cara membuang kondom bekas dengan benar dan anggunly. Pasca melepasnya dengan hati-hati, ikatlah bagian ujungnya dengan pelan agar tidak menetes atau muncrat. Kemudian dibungkus dengan tisu atau kertas, baru dibuang di tempat sampah. Bukan disumpelin di dalam teko listrik, di-flush di toilet, atau dialirkan ke sungai.
Proses ini hanya memakan waktu kurang dari 5 menit.
***
8. One Man’s Trash is Another Man’s Treasure
Pada tahun 90an, saya pernah tidak sengaja menemukan amplop surat lengkap dengan perangko Australia-nya di tong sampah dekat SD. Saya yang kala itu filatelis sejati, seneng luar biasa mendapat perangko luar negeri. Rasanya bagaikan menemukan harta karun.
Ya, sampah seseorang bisa menjadi sesuatu yang berharga bagi orang lain.
Akhir-akhir ini viral di sosial media, di TPS Thailand banyak ditemukan snakers bermerek yang kondisinya masih bagus. Saya dan jutaan penonton lainnya takjub melihat videonya, bahkan ada yang berkomentar, “Kalau sampahnya begitu, daku rela menjadi pemulung.”
Haduh Nak, kaget Ibuk membacanya. Sebaiknya jangan mendoa begitu. Instead, berharaplah supaya menjadi orang yang bisa memberikan sampah bermanfaat bagi orang yang tepat.
***
Penutup
“Alah yang lain juga gitu, kenapa kamu tetap melakukannya. Gak ngaruh.”
“Palingan nanti juga dicampur di TPA. Sia-sia kelelahanmu milah-milah.”
Jenis kalimat discouraging tersebut pasti akan ada, dan mampu melemahkan niat dalam sekejap. Namun yakinlah, semua bermula dari diri sendiri, sekecil apapun.
Apakah harus menunggu banjir dulu, bumi rusak dulu, dan inhabitable?
Apakah harus menunggu geng pimpinan Evans yang radical environmentalist menata bumi?
Apakah harus menunggu tugas manusia sebagai khalifah di bumi diambil alih oleh AI?
Apakah harus menunggu mob sekaliber (dan sejahat) Al Capone mengelola sampah?
***
***
***
Tulisan untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, BUMI, yang di-host-in oleh Mamah Sistha dan Mamah Ririn.